Kab.Tasik,
LINTAS PENA
Pada
hari raya Idul Fitri 1433 H kemarin, objek wisata budaya Kampung Naga Desa
Neglasari, kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya pun tak luput dikunjungi
para wisatawan, terutama wisatawan local yang tengah mudik.Karena itu tak
mengherankan, bila selama seminggu sejak hari pertama Lebaran, kampung
tradisional ini pun banyak dikunjungi wisatawan sehingga suasana pun tampak
ramai. Apalagi di Kampung Naga ada tradisi
tersendiri saat menyambut Lebaran yang dilakukan warganya.
Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni
oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat
peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda. Seperti permukiman
Badui, Kampung Naga menjadi objek kajian antropologi mengenai kehidupan
masyarakat pedesaan Sunda di masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh
Islam di Jawa Barat.
Kampung yang memiliki luas 1,5 hektar ini masih sangat terlihat 'hijau' dan sama sekali belum dipengaruhi oleh modernisasi. Sekitar 311 orang tinggal di desa ini. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya.
Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Setibanya di kampung ini, Anda akan melihat ratusan pohon-pohon yang tumbuh tinggi, sawah hijau dan sungai Ciwulang panjang. Selain itu, Anda akan menghirup udara sejuk dan suara gemericik air sungai di kejauhan.
Kampung yang memiliki luas 1,5 hektar ini masih sangat terlihat 'hijau' dan sama sekali belum dipengaruhi oleh modernisasi. Sekitar 311 orang tinggal di desa ini. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya.
Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Setibanya di kampung ini, Anda akan melihat ratusan pohon-pohon yang tumbuh tinggi, sawah hijau dan sungai Ciwulang panjang. Selain itu, Anda akan menghirup udara sejuk dan suara gemericik air sungai di kejauhan.
Untuk mencapai kampung ini, kita harus menuruni tangga
yang sudah ditembok sepanjang 500 meter dan lebar 2 meter karena kampung ini
diapit perbukitan dataran tinggi yang membujur dari timur ke barat. Perbukitan
itu terletak di hulu Sungai Ciwulan.Kampung adat tradisional Naga terletak 500
meter di bawah jalan provinsi Tasikmalaya-Bandung lewat Garut atau 30 kilometer
arah barat Kota Tasikmalaya. Kampung Naga bisa dicapai dengan kendaraan umum
dari Bandung, Garut, atau Tasikmalaya.
”Tiap hari, rata-rata 20-an turis
asing berkunjung ke kampung kami. Adakalanya empat bus sekaligus tiba di Naga,”
ujar Tatang Sutisna (45), warga Naga yang juga penasihat para pemandu wisata.
Selain berolahraga, naik turun tangga yang kemiringannya bervariasi hingga 60
derajat itu merupakan ”atraksi wisata” menyaksikan alam asli Tatar Sunda.
Kampung Naga memang tidak menyediakan
atraksi wisata khusus, seperti pergelaran seni. Kalaupun ada, itu hanya
kebetulan untuk warga Naga dan tidak disediakan untuk wisatawan. Seperti pada
Jumat pertengahan bulan ini, di tempat parkir kebetulan ada orkes dangdut dan
jaipongan untuk merayakan khitanan massal. Beberapa pengunjung pun diajak
berjoget karena warga Naga tidak asing dengan para turis bule.
Para turis yang berkunjung ke Kampung
Naga pada umumnya ingin menikmati kehidupan adat tradisional yang serasi dengan
keaslian alam di perbukitan dan hulu sungai. Tradisi adat bisa dilihat dari
rumah adat Naga yang berbentuk rumah panggung berdinding bambu (seseg).
Atap terbuat dari ijuk karena genteng
tidak diperbolehkan oleh karuhun (leluhur) Naga. Ukuran semua rumah sama, yakni
5 meter x 8 meter, menghadap dua arah, ke selatan dan utara. Bentuk atap
semuanya dua arah, tidak boleh ada yang tiga arah (jure). Ini merupakan salah
satu sisi kehidupan warga Naga dalam menjalankan titah karuhun, yakni ulah
pagirang-girang tampian (jangan berlomba). Falsafah hidup lain yang kini tetap
dijalankan warga adalah bersifat damai dan menjauhi perselisihan.(REDI MULYADI)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar